Oktober


Oktober menjadi bulan istimewa karena di bulan itu aku lahir di dunia.
Maka di bulan itu pula, tahun ini aku bikin pelatihan gratis untuk siswa sekolah dan santri pondok.
No party, no tumpeng, no ucapan-ucapan tapi pelatihan.
Pelatihan yang bismillah diniatkan untuk berbagi ilmu. Semoga Allah SWT catat sebagai amal ibadah, amin.
Dimulai dengan para siswa SMPN 2 Batu yang begitu bersemangat mengikuti pelatihan yang digelar santai di salah satu cafe kekinian di dekat sekolah mereka (4/10/22).

Anak-anak kecil yang ketika melihat aku berjalan mendekat ke cafe nyeletuk:
“Eh, tibae ayu lho rek”
“Iyo yo, Ayu. Ayo ayo mlebu”. Anak-anak yang sebelumnya main-main di area luar cafe berlarian masuk ke dalam.

Mendengar celetukan itu, spontan aku dan Naya yang hari itu menjadi asisten berpandangan mata dan tertawa. Sebagai perempuan, ada lho perasaan senang saat dibilang cantik. Tapi ini sama anak SMP seusia anakku! (ups! I haven’t married yet, ya belum dikaruniai anak hehe), jadi malah ngerasa lucu.

Alhamdulillah, pelatihan yang digelar sesudah makan siang bersama berjalan lancar. Tanpa mereka ketahui, hari itu kondisiku kurang fit setelah berhari-hari dikejar kerjaan dan memastikan segala keperluan reuni terpenuhi. Aku sengaja menjadwalkan pelatihan dari awal bulan sebab merencanakan untuk terus mengisi hari dengan pelatihan sampai akhir bulan.
Itu rencanaku sebagai manusia dan hamba, tanpa tahu apa yang disiapkan oleh Allah SWT.

***
Oktober tahun ini pun istimewa, ada event reuni 24 tahun Alumni Gontor Putri Grasafany di Kota Batu (7-9 Oktober) di mana aku ketua panitianya. Menjadi tuan rumah untuk teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia, yang terjauh dari Bau Bau Sulawesi dan ada juga peserta yang sengaja pulang dari Saudi Arabi untuk ikut reuni. Kami panitia bertekad memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada teman-teman yang sudah meluangkan waktu dan biaya untuk datang reuni.

Alhamdulillah acara berjalan lancar, ustadz kami yang dulu menjadi pengasuh kala kami masih santriwati KH Hidayatullah Zarkasyi MA berkenan hadir. Btw, insya Allah aku akan tuliskan reuni ini dalam postingan tersendiri di lain waktu.

Setelah reuni usai, ada teman sekeluarga yang extend dan menginap di rumah. Jadi, awal Oktober memang benar-benar hectic dengan segala giat menyenangkan. Capek, iya. Tapi bahagia.

Oia, Oktober juga aku jadikan sebagai moment untuk launching Halal Indonesia Community (HIC) yang dilakukan di Hotel Asida bersamaan dengan hari pertama reuni. Ada dewan penasehat dari kiai, rektor dan Ketua MUI yang alhamdulillah berkenan bergabung dalam komunitas ini. Sayangnya, aku belum berkesempatan untuk memulai aktivitas komunitas ini karena peristiwa yang terjadi hanya dalam hitungan hari setelah reuni digelar. Aku akan menuliskan alasan kenapa bikin HCI dan kisah yang melatar belakanginya di sesi lain, insya Allah.

***
Jumat (14/10/22) atau sepekan setelah reuni sudah aku niatkan untuk pulang ke rumah Tulungagung. Aku pun sudah menyampaikan rencana itu saat berpamitan kepada ibu di kepulangan dua minggu sebelumnya. “Bu, mau ada reuni alumni dan aku panitianya, doain lancar yaaa. Nanti insya Allah pulang sesudah itu”.

Rabu (12/10/22) jam 07.11, ada video call dari nomor adikku di Tulungagung. Aku terima dan melihat pemandangan yang sampai hari ini pun masih susah aku lupakan. Ibu terbaring di tempat tidurnya dengan adikku di sampingnya yang terus berucap “Allah bu, Allah, Allah…”.
“Ibu kenapa dek?”
“Ngedrop mbak…Allah bu, Allah…”
“Mulai kapan?”
“30an menit lalu”
“Ya Allah. Ibuu, ini Hanaa…,” suaraku agak meninggi karena belakangan pendengaran ibu agak berkurang.

Kamera video HP yang dipegang adik ipar menampakkan wajah ibu dengan mata sedikit tertutup. “Hana…” balas ibu lemah, lalu tersenyum.

“Buu…Allah…Allah…Allah,” kataku melanjutkan, sedikit panik.

“Dek, aku pulang aja. Aku tutup telponnya ya”.
Aku bergegas mandi super kilat. Keluar dari kamar mandi, jam 07.17 ada miscal dari adik bungsuku, aku telpon balik.
“Mbak pulang?,” suaranya serak menahan tangis.
“Iya dek, ini siap-siap”.

“Tadi pas videocall, aku kayak cuman dengar “Lee…” (panggilan untuk anak laki-laki, red) trus mata ibu udah terpejam rapat mbak,” tambah adikku sesenggukan.

“Bismillah, semoga nggak ada apa-apa ya dek. Yuk, aku siap dulu ya”.
Tanpa kami tahu, bersamaan dengan aku bertelepon dengan adik bungsuku itulah malaikat Izrail sudah ada di rumahku, di depan ibuku hendak menjemput menghadap Tuhannya.


Hidup dan mati menjadi hak prerogratif Allah Yang Maha Kuasa,
Dia yang menghidupkan, Dia pula yang mematikan.
Kita manusia tahu bahwa mati itu pasti. Kita tak tahu kapan.
Kita tahu bahwa akan ada waktunya untuk berpisah dengan orang-orang yang kita sayangi termasuk orang tua,
Kita mempersiapkan diri dengan baik.
Namun saat waktu itu tiba, tetap saja yang namanya kehilangan tidak lah mudah.

Iya, kehilangan ibu tidak mudah.
Sebesar apapun kita, akan selalu merasa menjadi anak kecil di hadapan orang tua.
Hari itu, aku kecil kehilangan orang yang kepadanya aku selalu meminta doa-doa dan dukungan.
Kehilangan orang yang senang mengajakku ngobrol panjang lebar, bertengkar, saling marah, lalu bertangisan saat meminta maaf.

Peristiwa hari itu mungkin akan terus terkenang, dan memang harus selalu aku ingat,
supaya aku, anaknya yang belum bisa memberikan yang terbaik pada orang tua ini juga ingat untuk terus mendoakannya.

Rabbighfirli Waliwalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani Saghira.

Tinggalkan komentar

Search

Latest Stories